arind

Selasa, 14 Mei 2013

Antropologi : Beberapa Aspek Sosial Budaya Kehamilan, Kelahiran, dan nifas


BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya. Berbedanya kebudayaan ini menyebabkan banyaknya mitos mengenai masa kehamilan, persalinan dan nifas. Banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, almiah, dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksa secara rutin ke bidan atau pun dokter. Mereka merasa tidak perlu memeriksa secara rutin ke bidan atau pun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan karena kasusnya sudah terlambat sehingga mengakibatkan kematian. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Selain itu kurangnya pengetahuan dan pentingnya perawatan kehamilan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang sehingga akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Jadi tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Menurut WHO, kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di berbagai negara di dunia dengan angka  kematian rata-rata 400 per 100.000 kelahiran hidup.

Pendahuluan Berdasarkan Pendekatan Biososiokultural
Menurut pendekatan biososiokultur dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran tidak hanya dilihat dari aspek biologis dan fisiologisnya saja, tetapi dilihat juga sebagai proses yang mencakup seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, wilayah tempat kelahiran berlangsung, para pelaku, atau penolongnya, cara pencegahan bahaya dan pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan, serta perawatan bayi dan ibunya.
Dalam penelitian Syafrudin (2009), di daerah Maluku terdapat pantangan makanan pada masa nifas yaitu terong agar lidah bayi tidak bercak putih, nanas, mangga tidak bagus untuk rahim. Masyarakat di Bali, seorang ibu yang baru melahirkan dianggap ”sebel/lateh” dan tidak diperkenankan ke pura sampai dilaksanakannya upacara pembersihan diri. Ada beberapa perawatan setelah melahirkan di beberapa daerah di Indonesia seperti: mandi uap air rebusan ramuan (setiap hari) untuk mengembalikan panas tubuh, minum air perasan daun turi, mengompres kepala ibu dengan ampas daun turi. Anggapan setelah melahirkan darah putih naik ke kepala dapat menyababkan kematian, pencegahannya seperti yang telah dsebutkan tersebut. Makan rebusan kulit pohon ketapang untuk memulihkan kesehatan, perawatan berlangsung 2 minggu sampai dengan satu bulan atau 40 hari.
Suku Minangkabau (Muarif, 2009) adalah salah satu dari ratusan suku bangsa di Indonesia. Mereka berasal dari Propinsi Sumatera Barat. Di propinsi yang terletak di bagian barat tengah Pulau Sumatera ini, suku Minangkabau merupakan etnik mayoritas setelah Batak Mandailing dan Mentawai. Setiap bangsa memiliki tradisi tersendiri yang biasanya diwarisi oleh nenek moyang mereka. Seperti suku Minangkabau. Mereka memiliki kebudayaan yang telah dianggap mapan, yang sesungguhnya memiliki hubungan etnik kultural dengan nenek moyang.
Menurut beberapa ibu-ibu suku Minang, perawatan ibu postpartum menurut budaya Minang meliputi: minum telur dan kopi, penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh), pemanasan batu bata (duduk di atas batu bata), meletakkan bahan-bahan alami di atas perut ibu (tapal), minum jamu dari bahan rempah-rempah, membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih.


Tujuan
1.      Mengetahui Aspek Budaya Terkait Kehamilan dalam Masyarakat
2.      Mengetahui Aspek Budaya Terkait Kelahiran dalam Masyarakat
3.      Mengetahui Aspek Budaya Terkait nifas dalam Masyarakat
Masa Krisis di antara Tahapan-tahapan Kehidupan
1.      Tahap Pertama: Masa Infansi (Dari kelahiran sampai usia satu tahun)
Ciri Perkembangan: Kepercayaan vs Ketidakpercayaan. Tahap pertama dalam hidup seorang anak melibatkan kegiatan mempelajari tentang apa artinya menjadi mahluk hidup. Ketika bayi menangis, ia sedang mengekspresikan kebutuhannya.  Kebutuhan dasar bayi adalah: kasih sayang, sentuhan, stimulasi dan interaksi sosial, istirahat yang cukup, makanan, kehangatan, dan keamanan. Anak-anak perlu mengembangkan kepercayaan terhadap lingkungan, orang-tua, atau pengasuh.  Melalui kepercayaan ini, anak-anak belajar bahwa dunia mereka adalah tempat yang aman, bisa dimengerti,menarik, dan ramah. Kepercayaan menyebabkan anak-anak untuk berani mengeksplorasi lingkungannya.  Para bayi yang belajar memiliki kepercayaan akan merasa yakin dan berani menghadapi dunianya, mereka juga akan mengembangkan daya harap.  Dengan kasih sayang dan pemeliharaan yang memadai, mereka akan lebih diperlengkapi untuk menghadapi tantangan hidup baik di tahap-tahap berikutnya maupun dalam masa krisis.
2.      Tahap kedua: Masa Awal Kanak-kanak (Dari umur dua sampai tiga tahun)
Ciri perkembangan: Otonomi vs Rasa bersalah dan kebimbangan. Ciri-ciri khas anak-anak di tahap perkembangan ini ialah: kemandirian, memisahkan pribadi dari orang tua, dan mencari otonomi dalam kontrol dan tingkah laku.  Pada masa ini, mereka mencoba mengetes batasan-batasan yang ada, dan mulai memikirkan untuk sendiri. Pada tahap ini, anak-anak perlu bereksperiman, untuk bebas mencoba hal dengan indra rasa mereka, bebas untuk membuat kesalahan dan mengetes limitasi di dalam lingkungan yang aman. Di masa awal kanak-kanak ini meraka memerlukan kebebasan untuk berbuat kesalahan ketika mereka berhasil untuk melakukan hal-hal secara mandiri.  Seperti mengekspresikan diri, makan sendiri, pergi ke toilet sendiri, dan melakukan berbagai kegiatan dengan tangan dan kaki.  Meraka perlu diajari bahwa tidak ada orang yang sempurna; kesalahan adalah bagian dari proses belajar di dalam hidup ini.  Anak-anak harus mempelajari cara-cara untuk meminta maaf, untuk bertanggung jawab atas perbuatan atau kesalahan mereka, dan maju ke depan.
3.      Tahap ketiga: Masa Balita (Dari umur tiga sampai lima)
Ciri perkembangan: Inisiatif vs kepasifan Dari rasa otonomi, tumbuhlah kemampuan untuk berinisiatif. Lawannya adalah perasaan bersalah karena merasa tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Anak-anak balita (sebelum masa sekolah) mulai menyadari perbedaan fisik antara lelaki dan perempuan.  Mereka juga mulai menemukan peranan mereka dan tingkat kekuasaan dalam hubungan mereka dengan sesama dan orang dewasa. Erikson menyatakan bahwa kalau seorang anak diberikan kebebasan untuk memilih kegiatan yang disukainya, maka ia akan mengembangkan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya jika seorang anak tidak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri atau berinisiatif, maka akan timbul perasaan pasif dimana mereka lebih cenderung membiarkan orang lain untuk mengambil keputusan untuk mereka. Anak-anak harus diberikan kebebasan yang cukup untuk mengembangkan cara mereka sendiri dalam menghadapi sesamanya dan juga untuk mengembangkan rasa keadilan dan hati sanubari.
4.      Tahap keempat: Masa Sekolah (Dari umur enam sampai 12 tahun)
Ciri perkembangan: Industrialis vs rendah diri. Kata “Industrialis” di tahap ini ditujukan kepada kemampuan untuk menetapkan dan mencapai tujuan dan cita-cita pribadi.  Tema utama untuk tahap ini adalah menguasai lingkungan dan kehidupan sehari-hari, dengan mengadaptasikan diri dengan “hukum” dan aturan-aturan sekitar. Anak-anak di masa sekolah telah siap untuk menerima instruksi yang sistematis (dari sekolah) dan input dari budaya sekitar dan mengaplikasikan kemampuan yang telah mereka kembangkan selama ini. Hal yang paling membahayakan dalam tahap ini adalah perasaan rendah diri dan minder, terutama ketika kesalahan yang telah diperbuat, disorot dan dibesar-besarkan. Rasa percaya diri adalah cara seseorang memandang dan menerima dirinya sendiri.  Bagi anak-anak, rasa percaya diri ini diungkapkan dengan tingkah laku mereka. Rasa percaya diri berkembang dari pengalaman-pengalaman hidup.
5.      Tahap kelima: Masa Remaja (Dari umur 12 sampai 18 tahun)
Ciri perkembangan: Identitas vs Kebimbangan peranan. Masa remaja adalah masa transisi.  Seperti halnya di tahap kedua, ini adalah masanya untuk mengetes limitasi. Para remaja dihadapkan dengan tantangan untuk membangun suatu sistem nilai yang akan menentukan arah hidup mereka.  Di dalam proses pencarian filsafat hidup ini, seorang remaja harus membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan keyakinan beragama, moralitas, seksualitas, dan nilai-nilai lainnya.  Dalam masa pencarian ini, peranan pembimbing sangat penting. Tingkah laku seorang anak merupakan suatu hal yang bersifat individu Mereka menonjolkan sifat yang personal dalam menghadapi kehidupan.  Respon mereka terhadap sexual abuse juga bersifat individu. Anak-anak perlu diberi semangat untuk mengenali dan mengekspresikan emosi mereka supaya mereka menjadi terbiasa.  Ketika seorang anak mulai mengerti dan mengekspresikan perasaannya, emosi tidak lagi mengontrol sang anak, melainkan sang anak yang menjadi tuan dari emosinya. Anak-anak yang terkena sexua abuse sangat terpengaruh perkembangannya terutama di bidang sosio-emosional.  Bidang ini mencakup relasi dengan diri sendiri, maupun orang lain, juga konsep tentang diri sendiri, kepercayaan diri, dan perasaan negatif akan apa yang telah dialami mereka. Anak-anak yang dieksploitasi secara seksual (lebih parah dari sexual abuse karena termasuk unsur komersial) juga mudah dipaksa untuk beradaptasi demi kebutuhan yang vital.  Situasi ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk mengembangkan aspek-aspek yang penting.  Seperti: kemandirian, hubungan yang sehat dengan teman sebaya, keyakinan pada diri sendiri, mengatasi perubahan fisik yang terus terjadi, membentuk nilai-nilai dasar, dan menemukan cara-cara baru untuk mengolah informasi.
Seorang anak dilahirkan dengan kepekaan spiritual yang seharusnya dibina dan dikembangkan. Berikut merupakan kebutuhan dasar anak-anak:
a.       Kebutuhan fisik (makanan, air, tempat berlindung, dan kehangatan),
b.      Rasa aman (biasanya keluarga merupakan sumber dari rasa aman),
c.       Kasih sayang (kasih dan pengakuan/penerimaan adalah dua kebutuhan yang paling mendalam bagi seorang anak),
d.      Percaya diri (anak harus dihargai sebagai individu yang bernilai tinggi, yang berperasaan, dan bisa diberi tanggung jawab),
e.       Pengenalan diri (orang yang mengenali dirinya sendiri adalah orang yang hampir memenuhi potensi yang ada sejak lahir).


Konsep Budaya Tentang Organ Reproduksi, Proses Pembuahan, dan Hubungannya dengan Program KB

Melakukan fungsi reproduksi merupakan cara manusia untuk melestarikan keturunannya. Diperlukan organ reproduksi unruk melakukan fungsi ini. Berikut adalah tahapan proses pembuahan yang dimulai dengan penetrasi penis ke dalam vagina, menurut Manuaba (1998), sperma normal masuk ke dalam rahim wanita pada masa subur kemungkinan besar akan bertemu dan berhasil membuahi sel telur. Hasil pembuahan ini akan berkembang menjadi embrio. Embrio akan berkembang lebih lanjut menjadi janin yang siap dilahirkan.
 Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan berisiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, edukasi, konseling dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB, dan meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2006). Program KB bertujuan untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Mochtar, 1998). Berikut beberapa cara yang dapat digunakan untuk menjalankan program KB :
1.      Tanpa menggunakan alat kontrasepsi, dengan menghitung masa subur pada wanita dan tidak melakukan hubungan suami istri pada saat masa subur wanita.
2.      Menggunakan kondom, Kondom disamping sebagai alat KB juga berfungsi untuk mencegah Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV)/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
3.      Vasektomi, memotong sebagian kecil vas deferens kanan dan kiri masing-masing kurang daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa) (Anfasa, 1982).
4.      Tubektomi, memotong sebagian kecil tubah falopi kanan dan kiri. Dengan demikian tubektomi hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa).
5.      Menggunakan obat-obatan atau pil KB pada wanita.
6.      Menggunakan IUD atau spiral pada wanita.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek Budaya Terkait Kehamilan, Kelahiran dan Nifas
2.1.1 Aspek Budaya Terkait Kehamilan dalam Masyarakat
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dan mengakibatkan kematian pada ibu dan bayi .hal ini juga disebabkan oleh  rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada saat melahirkan. 
 Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu tradisi upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada usia saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak yang dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno (bangunan upacara yang berada di tengah-tengah hutan). Masyarakat nuaulu juga beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8 bulan) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.
Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).


2.1.2 Aspek Budaya Terkait Kelahiran dalam Masyarakat
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH), angka tersebut masih tertinggi Di Asia. Masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah, jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah.
Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan / praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula dengan memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Sebenarnya, kelancaran persalinan sangat tergantung oleh faktor-faktor berikut :
a.       Faktor fisik berkaitan dengan bentuk panggul yang normal dan seimbang dengan besar bayi
b.      Faktor mental berhubungan dengan psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas, bisa saja persalinannya jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi selama persalinan.
c.       Faktor lain yang juga harus diperhatikan: riwayat kesehatan ibu, apakah pernah menderita   diabetes, hipertensi atau sakit lainnya; gizi ibu selama hamil, apakah mencukupi atau tidak; dan lingkungan sekitar, apakah men-support atau tidak karena ada kaitannya dengan emosi ibu. Ibu hamil tak boleh cemas karena akan berpengaruh pada bayinya.

Pengambilan keputusan dalam proses persalinan
            Proses pengambilan keputusan merujuk kepada cara – cara suami dan istri secara perorangan atau bersama – sama baik melalui pembicaraan, pertimbangan dan permintaan pendapat, perundingan, maupun tidak melalui cara – cara tersebut, dalam mengambil keputusan atas berbagai kegiatan dalam keluarga. (Marleny, 1983 dalam Susanti, 1996:30)
            Suatu penulisan tentang pola pengambilan keputusan yang sudah pernah dilakukan oleh PudjiWati Sajogjo (Sajogjo, 1993 dalam Susanti ,1996:29 ) di pedesaan jawa Barat mengemukakan 5 variasi tentang siapa yang mengambil keputusan dalam keluarga, yaitu :
1.      Pengambilan keputusan hanya oleh istri
2.      Pengambilan keputusan hanya oleh suami
3.      Pengambilan keputusan oleh suami dan istri bersama, dimana istri lebih dominan
4.      Pengambilan keputusan oleh suami dan istri bersama, dimana suami lebih dominan
5.      Pengambilan keputusan oleh suami dan istri bersama, setara

Pelaku (penolong) dalam proses persalinan
Salah satu faktor yang paling mempengaruhi apa yang akan terjadi selama proses melahirkan adalah memilih penolong dalam membantu proses melahirkan (Gaskin, 2003)
Persalinan yang aman memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih (Syafrudin, 2009). Pelayanan pertolongan persalinan adalah suatu bentuk pelayanan terhadap persalinan ibu melahirkan yang dilakukan oleh penolong persalinan baik oleh tenakes seperti dokter dan bidan atau non tenakes seperti dukun.
Jenis-jenis penolong persalinan adalah :
1. Dukun
Pengertian dukun biasanya seorang wanita sudah berumur ± 40 tahun ke atas, pekerjaan ini turun temurun dalam keluarga atau karena ia merasa mendapat panggilan tugas ini (Wiknjosastro, 2007). Menurut Syafrudin (2009), jenis dukun terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Dukun terlatih : Dukun yang telah mendapatkan pelatihan oleh tenaga kesehatan dan telah dinyatakan lulus.
b. Dukun tidak terlatih : Dukun yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau dukun yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.
Penolong persalinan oleh dukun mengenai pengetahuan tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas oleh karena atau apabila timbul komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan kurang profesional. Berbagai kasus sering menimpa seorang ibu atau bayi sampai pada kematian ibu dan anak (Wiknjosastro, 2005). Seperti diketahui, dukun bayi adalah merupakan sosok yang sangat dipercayai di kalangan masyarakat. Mereka memberikan pelayanan khususnya bagi ibu hamil sampai dengan nifas secara sabar. Apabila pelayanan selesai mereka lakukan, sangat diakui oleh masyarakat bahwa mereka memiliki tarif pelayanan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan bidan. Umumnya masyarakat merasa nyaman dan tenang bila persalinannya ditolong oleh dukun atau lebih dikenal dengan bidan kampung, akan tetapi ilmu kebidanan yang dimiliki dukun tersebut sangat terbatas karena didapatkan secara turun temurun (tidak berkembang) (Meilani dkk, 2009).
Dalam usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan kesehatan anak maka tenaga kesehatan seperti bidan mengajak dukun untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan, selain itu dapat juga mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan, selain itu dapat juga mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan dan segera minta pertolongan pada bidan. Dukun yang ada harus ditingkatkan kemampuannya, tetapi kita tidak dapat bekerjasama dengan dukun dalam mengurangi angka kematian dan angka kesakitan (Wiknjosastro, 2005).
Perlakuan yang diberikan dukun beranak kepada pasien dapat berupa pemberian terapi pijat atau pemberian obat-obatan tradisional kepada sang ibu dan bayinya, baik untuk tujuan pencegahan maupun pengobatan. Bentuk-bentuk perlakuan tersebut antara lain:
Perlakuan selama kehamilan
a.       Terapi pijat pada ibu hamil
Terapi pijat ini dilakukan oleh si dukun pada saat kehamilan memasuki umur 5 bulan.  Pemijatan ini dilakukan secara rutin dua minggu sekali atau satu bulan sekali dimulai kandungan berumur 5 bulan sampai tiba waktu akan melahirkan. Pemijatan dilakukan pada saat beruur 5 bulan karena janin yang berada di perut ibu dipercaya sudah mulai dapat bergerak, sehingga perlu dilakukan pemijatan. Pemijatan ini dilakukan untuk mengatur posisi sang bayi tidak sungsang pada saat akan dilahirkan (sesuai dengan posisinya).
Perlakuan selama kelahiran
Pada saat ibu akan melahirkan bila sang bayi tidak kunjung keluar atau tidak menunjukkan reaksi. Maka sang ibu akan disuruh untuk jalan-jalan, karena menurut sang dukun bila seorang ibu memang sudah waktunya melahirkan maka sang bayi akan keluar dengan sendirinya. Namun bila dengan cara itu bayi tidak kunjung keluar maka sang dukun akan memberikan ramuan tradisional berupa temu ireng yang di parut dan diperas. dan kuning telur, tapi jangan diberikan saat bayi belum waktunya untuk dilahirkan. Atau diberi sprit pada saat pembukaan 5 atau bila sang ibu mau juga diberikan kuning telur. Temu ireng nya di parut dan diperas. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Terapi yang diberikan kepada ibu hamil pascamelahirkan
Terapi yang diberikan kepada ibu hamil pascamelahirkan ini dapat berupa pembersihan sisa-sisa darah di rahim, pencegahan kehamilan kembali pada masa-masa awal setelah melahirkan (kehamilan jarak dekat), dan memperlancar air susu ibu (ASI).
1.      Pembersihan sisa-sisa darah di rahim ibu sesaat setelah melahirkan
Setelah melahirkan, di dalam rahim ibu masih terdapat sisa-sisa darah yang biasanya disebut darah kotor. Hal ini tentunya berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada sang ibu. Untuk mempercepat pembersihan rahim dapat digunakan ramuan tanaman obat keluarga (TOGA) yaitu Lengkuas (Lenguas galanga atau Alpinia galanga)
Dengan cara lengkuas dimasak dengan cuka encer, dan dijadikan minuman untuk si ibu. Selain dimasak, penggunaan lengkuas untuk mempercepat pembersihan rahim bagi wanita yang baru melahirkan adalah dengan mencampurkannya dengan abu hasil pembakaran. Cara pembuatannya adalah lengkuas dan abu hasil pembakaran dicampur dengan air hangat lalu dibungkus dengan kain dan ditempelkan pada liang rahimnya selama kira-kira 15 menit. Setelah itu, perut bagian bawah diurut (ditekan) perlahan sehingga darah kotor pun keluar melalui vagina. Perlakuan ini juga dapat mempercepat penutupan lubang vagina sehingga ukurannya bisa kembali seperti semula. Selain itu, campuran abu dan lengkuas juga dibalurkan ke seluruh tubuh ibu. Hal ini dipercaya untuk menghilangkan nyeri setelah melahirkan.
2.      Memperlancar air susu ibu (ASI)
Untuk memperlancar keluarnya air susu ibu, sang dukun juga memberikan ramuan  berupa kunir, daun luntas, asam jawa, sedikit garam dan gula merah dicuci dulu kemudian dideplok atau diremas kemudian direbus sampai mendidih kemudian disaring. Ramuan ini diminum pada saat dingin karena apabila diminum masih hangat akan menyebabkan lidah si bayi menjadi putih. Sebelum melahirkan payudara dipijat ke arah puting dan putingnya juga dibersihkan.
b.      Perawatan yang diberikan pada bayi
Perawatan ini berupa pemotongan ari-ari, pemijatan, serta memandikan bayi.
Pada jaman dahulu, pemotongan ari-ari dilakukan dengan menggunakan sembilu atau bambu tipis yang sisinya tajam. Namun, dewasa ini ternyata dukun beranak pun telah menggunakan gunting untuk memotong ari-ari bayi.
Setelah lahir ari2 bayi di potong, sang dukun tetap merawat sebagai bayi yaitu dalam bentuk: memandikan , hal ini dilakukan selama 7-40 hari setelah dilahirkan atau sesuai dengan permintaan sang ibu bayi.

2. Bidan
Definisi bidan menurut Keputusan Menteri Kesehatan 2007 adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.
Bidan adalah seorang tenaga kesehatan yang mempunyai tugas penting dalam bimbingan dan penyuluhan kepada ibu hamil, persalinan nifas dan menolong persalinan dengan tanggung jawabnya sendiri, serta memberikan asuhan kepada bayi baru lahir (prenatal care) (Wiknjosastro, 2005). Asuhan ini termasuk tindakan pencegahan deteksi kondisi abnormal ibu dan anak, usaha mendapatkan bantuan medic dan melaksanakan tindakan kedaruratan dimana tidak ada tenaga bantuan medic. Dia mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling, tidak hanya untuk klien tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Pada saat ini, ada dua jenis bidan, yaitu mereka yang mendapat pendidikan khusus selama tiga tahun dan perawat yang kemudian dididik selama satu tahun mengenai kebidanan dan disebut sebagai perawat bidan (Syafrudin, 2009). Salah satu tempat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak adalah BPS (Bidan Praktek Swasta) Menurut Meilani dkk (2009) BPS adalah satu wahana pelaksanaan praktik seorang bidan di masyarakat. Praktik pelayanan bidan perorangan (swasta), merupakan penyediaan pelayanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Setelah bidan melaksanakan pelayanan di lapangan, untuk menjaga kualitas dan keamanan dari layanan bidan, dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kewenangannya. Penyebaran dan pendistribusian badan yang melaksanakan praktik perlu pengaturan agar dapat pemerataan akses pelayanan yang sedekat mungkin dengan masyarakat yang membutuhkannya. Tarif dari pelayanan bidan praktik akan lebih baik apabila ada pengaturan yang jelas dan transparans, sehingga masyarakat tidak ragu untuk datang ke pelayanan Bidan Praktik Perorangan (swasta).      
Layanan kebidanan dimaksudkan untuk sebisa mungkin mengurangi intervensi medis. Bidan memberikan pelayanan yang dibutuhkan wanita hamil yang sehat sebelum melahirkan. Cara kerja mereka yang ideal adalah bekerjasama dengan setiap wanita dan keluarganya untuk mengidentifikasi kebutuhan fisik, social dan emosional yang unik dari wanita yang melahirkan. Layanan kebidanan terkait dengan usaha untuk meminimalisir episiotomy, penggunaan forcep, epidural dan operasi sesar (Gaskin, 2003)
3. Dokter Spesialis Kandungan
Dokter spesialis kandungan adalah dokter yang mengambil spesialis kandungan. Pendidikan yang mereka jalani difokuskan untuk mendeteksi dan menangani penyakit yang terkait dengan kehamilan, terkadang yang terkait dengan proses melahirkan. Seperti halnya dokter ahli bedah (Gaskin, 2003)Dokter spesialis kandungan dilatih untuk mendeteksi patologi. Ketika mereka mendeteksinya, seperti mereka yang sudah pelajari, mereka akan memfokuskan tugasnya untuk melakukan intervensi medis. Dokter spesialis kandungan menangani wanita hamil yang sehat, demikian juga wanita hamil yang sakit dan beresiko tinggi. Ketika mereka menangani wanita hamil yang sehat, mereka sering melakukan intervensi medis yang seharusnya hanya dilakukan pada wanita hamil yang sakit atau dalam keadaan kritis. Disebagian besar negara dunia, tugas dokter kandungan adalah untuk menangani wanita hamil yang sakit atau dalam keadaan kritis (Gaskin, 2003).
Baik dokter spesialis kandungan maupun bidan bekerja lebih higienis dengan ruang lingkup hampir mencakup seluruh golongan masyarakat. Umumnya, mereka hanya dapat mengulangi kasus-kasus fisiologis saja, walaupun dokter spesialis secara teoritis telah dipersiapkan untuk menghadapi kasus patologis. Jika mereka sanggup, harus segera merujuk selama pasien masih dalam keadaan cukup baik (Syafrudin, 2009).
Walaupun mereka dapat menanggulangi semua kasus, tetapi hanya sebagian kecil saja masyarakat yang dapat menikmatinya. Hal ini disebabkan karena biaya yang terlalu mahal, jumlah yang terlalu sedikit dan penyebaran yang tidak merata. Dilihat dari segi pelayanan, tenaga ahli ini sangat terbatas kegunaannya. Namun, sebetulnya mereka dapat memperluas fungsinya dengan bertindak sebagai konseptor program obstetri yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh dokter spesialis atau bidan (Syafrudin, 2009)

4. Kerabat ibu hamil
Pada umumnya keluarga terdekat mendampingi dukun bayi atau bidan pada saat persalinan.

            Tempat Berlangsungnya Persalinan
Tidak semua orang melakukan persalinan di rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan lain. Di beberapa daerah, masyarakat lebih menjunjung tinggi nilai – nilai adat mereka, seperti masyarakat dari Lombok Tengah tepatnya di desa Adat Sade, tempat untuk melakukan persalinannya ada di dapur
Pemberian Nama  Bagi Bayi
Di sebagian besar wilayah Indonesia, pemberian nama bagi bayi yang baru lahir adalah hal yang sangat sacral dan harus dilakukan sesuai adat yang berlaku di masing – masing daerah. Di Lombok misalnya, begitu bayi dilahirkan kita tidak bias begitu saja menamai sang bayi. Pemberian nama harus dilakukan melalui prosesi adat yang bagi masyarakat disebut Medaq api. Upacara ini dilakukan setelah tali pusar bayi terputus secara alami, yaitu pada saat bayi memasuki usia 5 – 9 hari. Biasanya orang tua akan memberikan beberapa pilihan nama bagi si bayi  dan menuliskannya di selembar kertas untuk masing – masing nama, kemudian meletakkan kertas berisi nama tersebut di sisi tempat tidur si bayi. Jika si bayi memegang salah satu kertas berisi pilihan nama tersebut, maka biasanya masyarakat akan berasumsi nama itulah yang disukai oleh si bayi.

           
2.1.3 Aspek Budaya Terkait Nifas dalam Masyarakat

Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama 6 - 8 minggu. Periode nifas merupakan masa kritis bagi ibu, diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. Selain itu, masa nifas ini juga merupakan masa kritis bagi bayi , sebab dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir (Saifuddin et al, 2002). Untuk itu perawatan selama masa nifas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Perawatan masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan dalam mobilisasi, anjuran untuk kebersihan diri , pengaturan diet, pengaturan miksi dan defekasi, perawatan payudara (mamma) yang ditujukan terutama untuk kelancaran pemberian air susu ibu guna pemenuhan nutrisi bayi, dan lain-lain (Rustam Mochtar, 1998 dan Saifuddin et al, 2002).
Selain perawatan nifas dengan memanfaatkan sistem pelayanan biomedical, ada juga ditemukan sejumlah pengetahuan dan perilaku budaya dalam perawatan masa nifas. Para ahli antropologi melihat bahwa pembentukan janin, kelahiran, dan masa pasca kelahiran pada umumnya dianggap oleh berbagai masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai peristiwa-peristiwa yang wajar dalam kehidupan manusia. Namun respon masyarakat terhadap berbagai peristiwa kehidupan ini bersifat budaya, yang tidak selalu sama pada berbagai kelompok masyarakat (Swasono, 1998).
Pada masyarakat Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan dengan memberikan minuman yang salah satu bahannya dari jeruk nipis, pemberian makanan berupa rujak dalam beberapa jam setelah persalinan selesai, penyembuhan luka jalan lahir dengan menggunakan pasir panas, perawatan dengan pengurutan, penguapan badan, konsumsi jamu-jamuan dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya (Swasono, 1998).
Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan ibu dan bayinya dilakukan upacara adat dengan berbagai syarat dan aturan yang harus dipenuhi selama proses maupun sebelum proses upacara tersebut terlaksana. Begitu juga pada masyarakat Aceh yang memiliki aturan berupa pantangan meninggalkan rumah selama 44 hari bagi wanita yang baru melahirkan. Anjuran untuk berbaring selama masa nifas, perawatan nifas dengan pengurutan , penghangatan badan, konsumsi minuman berupa jamu-jamuan dan pantangan makan - makanan tertentu (Swasono, 1998).
Berbeda dengan etnis Tionghoa, yang merupakan salah satu etnis pendatang di Indonesia yang jumlahnya cukup besar dibandingkan masyarakat pendatang lainnya, yang memiliki aturan bagi perempuan selama masa nifas meliputi pantangan bagi wanita nifas untuk keluar rumah selama satu bulan, tidak boleh mandi dan keramas selama satu bulan dengan alasan kondisi ibu yang dianggap dingin setelah melahirkan sehingga bila terpapar sesuatu yang dingin lagi akan menyebabkan masuk angin. Pantangan makan makanan yang bersifat dingin, kekhususan dalam mengolah makanan, juga penyajian makanan yang juga dilakukan secara khusus (Mahriani, 2008).
Berdasarkan fakta yang terjadi pada masyarakat di atas, dapatlah dikatakan bahwa memang benar ada beberapa nilai kepercayaaan masyarakat yang berhubungan dengan perawatan postpartum. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, maka fenomena tersebut sangat wajar terjadi. Dan pengetahuan tentang aspek budaya merupakan hal penting diketahui oleh pelayan kesehatan untuk memudahkan dalam melakukan pendekatan dan pelayanan kesehatan. Sebab, tidak semua perawatan yang dilakukan dengan berpedoman pada warisan leluhur tersebut bisa diterima sepenuhnya, bisa saja perawatan-perawatan yang dilakukan tersebut memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan bayinya. Hal ini tentu saja memerlukan perhatian khusus untuk mengatasinya (Swasono, 1998).

Daftar Pustaka
Foster, George M dan Barbara G. Anderson 1986 Antropologi Kesehatan, diterjemahkan oleh Meutia F. Swasono dan Prijanti Pakan. Jakarta: UI Press
Wibowo, Adik 1993 Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan", Pusat Kaajian Wanita FISIP UI, di Jakarta\

Alisyahbana A. Konsep kemitraan antara dukun bayi dan bidan di desa. Jakarta: MNH Mini

Mintarjo BS. 1997. Manusia dan nilai budaya. Jakarta: Universitas Trisakti;.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar