BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya
akan budaya. Berbedanya kebudayaan ini menyebabkan banyaknya mitos mengenai
masa kehamilan, persalinan dan nifas. Banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan
sebagai hal yang biasa, almiah, dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu
memeriksa secara rutin ke bidan atau pun dokter. Mereka merasa tidak perlu
memeriksa secara rutin ke bidan atau pun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang
kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak
terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka.
Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan karena kasusnya sudah terlambat
sehingga mengakibatkan kematian. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan kurangnya informasi. Selain itu kurangnya pengetahuan dan
pentingnya perawatan kehamilan.
Permasalahan lain yang cukup besar
pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena
adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa
makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang sehingga akan
berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Jadi tidak heran kalau
anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah
pedesaan. Menurut WHO, kematian ibu masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
utama di berbagai negara di dunia dengan angka kematian rata-rata 400 per
100.000 kelahiran hidup.
Pendahuluan Berdasarkan
Pendekatan Biososiokultural
Menurut
pendekatan biososiokultur dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran
tidak hanya dilihat dari aspek biologis dan fisiologisnya saja, tetapi dilihat
juga sebagai proses yang mencakup seperti pandangan budaya mengenai kehamilan
dan kelahiran, wilayah tempat kelahiran berlangsung, para pelaku, atau
penolongnya, cara pencegahan bahaya dan pusat kekuatan dalam pengambilan
keputusan mengenai pertolongan, serta perawatan bayi dan ibunya.
Dalam
penelitian Syafrudin (2009), di daerah Maluku terdapat pantangan makanan pada
masa nifas yaitu terong agar lidah bayi tidak bercak putih, nanas, mangga tidak
bagus untuk rahim. Masyarakat di Bali, seorang ibu yang baru melahirkan
dianggap ”sebel/lateh” dan tidak diperkenankan ke pura sampai dilaksanakannya
upacara pembersihan diri. Ada beberapa perawatan setelah melahirkan di beberapa
daerah di Indonesia seperti: mandi uap air rebusan ramuan (setiap hari) untuk
mengembalikan panas tubuh, minum air perasan daun turi, mengompres kepala ibu
dengan ampas daun turi. Anggapan setelah melahirkan darah putih naik ke kepala
dapat menyababkan kematian, pencegahannya seperti yang telah dsebutkan tersebut.
Makan rebusan kulit pohon ketapang untuk memulihkan kesehatan, perawatan
berlangsung 2 minggu sampai dengan satu bulan atau 40 hari.
Suku
Minangkabau (Muarif, 2009) adalah salah satu dari ratusan suku bangsa di
Indonesia. Mereka berasal dari Propinsi Sumatera Barat. Di propinsi yang
terletak di bagian barat tengah Pulau Sumatera ini, suku Minangkabau merupakan
etnik mayoritas setelah Batak Mandailing dan Mentawai. Setiap bangsa memiliki
tradisi tersendiri yang biasanya diwarisi oleh nenek moyang mereka. Seperti
suku Minangkabau. Mereka memiliki kebudayaan yang telah dianggap mapan, yang
sesungguhnya memiliki hubungan etnik kultural dengan nenek moyang.
Menurut
beberapa ibu-ibu suku Minang, perawatan ibu postpartum menurut budaya Minang
meliputi: minum telur dan kopi, penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh),
pemanasan batu bata (duduk di atas batu bata), meletakkan bahan-bahan alami di
atas perut ibu (tapal), minum jamu dari bahan rempah-rempah, membersihkan alat
kelamin dengan air rebusan daun sirih.
Tujuan
1.
Mengetahui Aspek Budaya Terkait
Kehamilan dalam Masyarakat
2.
Mengetahui Aspek Budaya Terkait Kelahiran
dalam Masyarakat
3.
Mengetahui Aspek Budaya Terkait nifas
dalam Masyarakat
Masa
Krisis di antara Tahapan-tahapan Kehidupan
1.
Tahap
Pertama: Masa Infansi (Dari kelahiran sampai usia satu tahun)
Ciri Perkembangan: Kepercayaan vs
Ketidakpercayaan. Tahap pertama dalam hidup seorang anak melibatkan kegiatan mempelajari
tentang apa artinya menjadi mahluk hidup. Ketika bayi menangis, ia sedang mengekspresikan kebutuhannya. Kebutuhan dasar bayi adalah: kasih sayang,
sentuhan, stimulasi dan interaksi sosial, istirahat yang cukup, makanan,
kehangatan, dan keamanan. Anak-anak perlu mengembangkan kepercayaan terhadap lingkungan,
orang-tua, atau pengasuh. Melalui
kepercayaan ini, anak-anak belajar bahwa dunia mereka adalah tempat yang aman,
bisa dimengerti,menarik, dan ramah. Kepercayaan menyebabkan anak-anak untuk berani
mengeksplorasi lingkungannya. Para bayi
yang belajar memiliki kepercayaan akan merasa yakin dan berani menghadapi
dunianya, mereka juga akan mengembangkan daya harap. Dengan kasih sayang dan pemeliharaan yang
memadai, mereka akan lebih diperlengkapi untuk menghadapi tantangan hidup baik
di tahap-tahap berikutnya maupun dalam masa krisis.
2.
Tahap
kedua: Masa Awal Kanak-kanak (Dari umur dua sampai tiga tahun)
Ciri perkembangan: Otonomi vs Rasa bersalah dan kebimbangan.
Ciri-ciri khas anak-anak di tahap perkembangan
ini ialah: kemandirian, memisahkan pribadi dari orang tua, dan mencari otonomi
dalam
kontrol dan tingkah laku. Pada masa ini, mereka mencoba mengetes batasan-batasan yang ada,
dan mulai memikirkan untuk sendiri. Pada tahap ini, anak-anak perlu bereksperiman,
untuk bebas mencoba hal
dengan indra rasa mereka, bebas untuk membuat kesalahan dan mengetes limitasi
di dalam lingkungan yang aman. Di masa awal kanak-kanak ini meraka memerlukan kebebasan untuk berbuat
kesalahan ketika mereka berhasil untuk melakukan hal-hal secara mandiri. Seperti mengekspresikan diri, makan sendiri,
pergi ke toilet sendiri, dan melakukan berbagai kegiatan dengan tangan dan
kaki. Meraka perlu diajari bahwa tidak
ada orang yang sempurna; kesalahan adalah bagian dari proses belajar di dalam
hidup ini. Anak-anak harus mempelajari
cara-cara untuk meminta maaf, untuk bertanggung jawab atas perbuatan atau
kesalahan mereka, dan maju ke depan.
3.
Tahap
ketiga: Masa Balita (Dari umur tiga sampai lima)
Ciri perkembangan: Inisiatif vs kepasifan
Dari rasa otonomi, tumbuhlah kemampuan untuk
berinisiatif. Lawannya adalah perasaan bersalah karena merasa tidak bisa
melakukan apapun dengan baik. Anak-anak balita (sebelum masa sekolah) mulai menyadari perbedaan
fisik antara lelaki dan perempuan.
Mereka juga mulai menemukan peranan mereka dan tingkat kekuasaan dalam
hubungan mereka dengan sesama dan orang dewasa. Erikson menyatakan bahwa kalau seorang anak
diberikan kebebasan untuk memilih kegiatan yang disukainya, maka ia akan
mengembangkan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri.
Sebaliknya jika seorang anak tidak diijinkan
untuk mengambil keputusan sendiri atau berinisiatif, maka akan timbul perasaan
pasif dimana mereka lebih cenderung membiarkan orang lain untuk mengambil
keputusan untuk mereka. Anak-anak harus diberikan kebebasan yang cukup untuk
mengembangkan cara mereka sendiri dalam menghadapi sesamanya dan juga untuk
mengembangkan rasa keadilan dan hati sanubari.
4.
Tahap
keempat: Masa Sekolah (Dari umur enam sampai 12 tahun)
Ciri perkembangan: Industrialis vs rendah diri.
Kata “Industrialis” di tahap ini ditujukan
kepada kemampuan untuk menetapkan dan mencapai tujuan dan cita-cita
pribadi. Tema utama untuk tahap ini
adalah menguasai lingkungan dan kehidupan sehari-hari, dengan mengadaptasikan
diri dengan “hukum” dan aturan-aturan sekitar. Anak-anak di masa sekolah telah siap untuk
menerima instruksi yang sistematis (dari sekolah) dan input dari budaya sekitar
dan mengaplikasikan kemampuan yang telah mereka kembangkan selama ini.
Hal yang paling membahayakan dalam tahap ini
adalah perasaan rendah diri dan minder, terutama ketika kesalahan yang telah
diperbuat, disorot dan dibesar-besarkan. Rasa percaya diri adalah cara seseorang
memandang dan menerima dirinya sendiri.
Bagi anak-anak, rasa percaya diri ini diungkapkan dengan tingkah laku
mereka.
Rasa percaya diri berkembang dari
pengalaman-pengalaman hidup.
5.
Tahap
kelima: Masa Remaja (Dari umur 12 sampai 18 tahun)
Ciri perkembangan: Identitas vs Kebimbangan peranan.
Masa remaja adalah
masa transisi. Seperti halnya di tahap kedua, ini adalah
masanya untuk mengetes limitasi. Para remaja dihadapkan dengan tantangan
untuk membangun suatu sistem
nilai yang akan menentukan arah hidup mereka.
Di dalam proses pencarian filsafat hidup ini, seorang remaja harus
membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan keyakinan beragama,
moralitas, seksualitas, dan nilai-nilai lainnya. Dalam masa pencarian
ini, peranan pembimbing sangat
penting.
Tingkah laku seorang anak merupakan suatu hal yang bersifat
individu Mereka menonjolkan sifat yang personal dalam menghadapi
kehidupan. Respon mereka terhadap sexual abuse juga bersifat individu. Anak-anak perlu diberi semangat untuk
mengenali dan mengekspresikan emosi mereka supaya mereka menjadi terbiasa. Ketika seorang anak mulai mengerti dan
mengekspresikan perasaannya, emosi tidak lagi mengontrol
sang anak, melainkan sang anak
yang menjadi tuan dari emosinya. Anak-anak yang terkena sexua abuse sangat terpengaruh perkembangannya terutama di bidang
sosio-emosional. Bidang ini mencakup
relasi dengan diri sendiri, maupun orang lain, juga konsep tentang diri
sendiri, kepercayaan diri, dan perasaan negatif akan apa yang telah dialami
mereka.
Anak-anak yang dieksploitasi secara seksual
(lebih parah dari sexual abuse karena
termasuk unsur komersial) juga mudah dipaksa untuk beradaptasi demi kebutuhan
yang vital. Situasi ini menyebabkan
mereka tidak mampu untuk mengembangkan aspek-aspek yang penting. Seperti: kemandirian, hubungan yang sehat
dengan teman sebaya, keyakinan pada diri sendiri, mengatasi perubahan fisik
yang terus terjadi, membentuk nilai-nilai dasar, dan menemukan cara-cara baru
untuk mengolah informasi.
Seorang anak dilahirkan dengan kepekaan spiritual yang seharusnya
dibina dan dikembangkan. Berikut merupakan kebutuhan dasar anak-anak:
a. Kebutuhan
fisik (makanan, air, tempat berlindung, dan
kehangatan),
b. Rasa
aman (biasanya keluarga merupakan sumber dari rasa
aman),
c. Kasih sayang (kasih dan pengakuan/penerimaan adalah dua
kebutuhan yang paling mendalam bagi seorang anak),
d. Percaya diri (anak harus dihargai sebagai individu yang
bernilai tinggi, yang berperasaan, dan bisa diberi
tanggung jawab),
e. Pengenalan diri (orang yang mengenali dirinya sendiri adalah
orang yang hampir memenuhi potensi yang ada sejak lahir).
Konsep Budaya Tentang Organ
Reproduksi, Proses Pembuahan, dan Hubungannya dengan Program KB
Melakukan fungsi reproduksi
merupakan cara manusia untuk melestarikan keturunannya. Diperlukan organ
reproduksi unruk melakukan fungsi ini. Berikut adalah tahapan proses pembuahan
yang dimulai dengan penetrasi penis ke dalam vagina, menurut Manuaba
(1998), sperma normal masuk ke dalam rahim wanita pada masa subur kemungkinan
besar akan bertemu dan berhasil membuahi sel telur. Hasil pembuahan ini akan
berkembang menjadi embrio. Embrio akan berkembang lebih lanjut menjadi janin
yang siap dilahirkan.
Program KB adalah suatu program yang
dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan
reproduksi, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden
kehamilan berisiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan yang
bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang
membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, edukasi, konseling dan
pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB,
dan meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) untuk penjarangan kehamilan
(BKKBN, 2006). Program KB bertujuan untuk membentuk keluarga kecil sesuai
dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran
anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya (Mochtar, 1998). Berikut beberapa cara yang dapat digunakan
untuk menjalankan program KB :
1. Tanpa
menggunakan alat kontrasepsi, dengan menghitung masa subur pada wanita dan
tidak melakukan hubungan suami istri pada saat masa subur wanita.
2. Menggunakan
kondom, Kondom disamping sebagai alat KB juga berfungsi untuk mencegah Infeksi
Menular Seksual (IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV)/AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome).
3. Vasektomi,
memotong sebagian kecil vas deferens kanan dan kiri masing-masing kurang
daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi hanya menghalang-halangi transpor
bibit laki-laki (spermatozoa) (Anfasa, 1982).
4. Tubektomi,
memotong sebagian kecil tubah falopi
kanan dan kiri. Dengan demikian tubektomi hanya menghalang-halangi
transpor bibit laki-laki (spermatozoa).
5. Menggunakan
obat-obatan atau pil KB pada wanita.
6. Menggunakan
IUD atau spiral pada wanita.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Aspek Budaya Terkait Kehamilan, Kelahiran dan Nifas
2.1.1
Aspek Budaya Terkait Kehamilan dalam Masyarakat
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat
perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin.
Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk
mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih
banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan
kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan
ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya
pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor
resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering
kali karena kasusnya sudah terlambat dan mengakibatkan kematian pada ibu dan
bayi .hal ini juga disebabkan oleh
rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Selain dari
kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan,
permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh
faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan.
preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan
istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif
pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada saat melahirkan.
Contohnya di
kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu tradisi
upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa
kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun
pada usia saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan
mengadakan suatu upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat
usia kandungan seorang perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri
perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang
dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga
anak yang dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum
laki-laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan
hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno (bangunan upacara yang
berada di tengah-tengah hutan). Masyarakat nuaulu juga beranggapan bahwa pada
kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam
kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8
bulan) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk
kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada
kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya
kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara,
kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan
pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan
janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi
terutama di daerah pedesaan.
Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah,
ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan
makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI
menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring
yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit
persalinan. Dan memang,
selain ibunya
kurang gizi, berat badan bayi yang
dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan
kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk
memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil
juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. (Wibowo, 1993).
2.1.2
Aspek Budaya Terkait Kelahiran dalam Masyarakat
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang
kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum
berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Berdasarkan
SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH), angka
tersebut masih tertinggi Di Asia. Masih tingginya angka kematian ibu di
Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti
tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan
sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah, jauhnya lokasi
tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-kebiasaan, adat
istiadat, perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Tingkat
kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih
rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut
yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong
kepada ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai
dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah.
Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa
tindakan / praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi"
(membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan),
"kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk
rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk
dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang
dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran
masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran
ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada
makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI, ada
pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi
kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh
dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya
mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula dengan
memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk
membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau
memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat
melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan).
Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional
dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Sebenarnya, kelancaran persalinan sangat tergantung oleh
faktor-faktor berikut :
a. Faktor fisik berkaitan dengan bentuk
panggul yang normal dan seimbang dengan besar bayi
b. Faktor mental berhubungan dengan
psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas,
bisa saja persalinannya jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan
mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi selama persalinan.
c. Faktor lain yang juga harus
diperhatikan: riwayat kesehatan ibu, apakah pernah menderita
diabetes, hipertensi atau sakit lainnya; gizi ibu selama hamil, apakah
mencukupi atau tidak; dan lingkungan sekitar, apakah men-support atau tidak
karena ada kaitannya dengan emosi ibu. Ibu hamil tak boleh cemas karena akan
berpengaruh pada bayinya.
Pengambilan keputusan dalam proses
persalinan
Proses
pengambilan keputusan merujuk kepada cara – cara suami dan istri secara
perorangan atau bersama – sama baik melalui pembicaraan, pertimbangan dan
permintaan pendapat, perundingan, maupun tidak melalui cara – cara tersebut,
dalam mengambil keputusan atas berbagai kegiatan dalam keluarga. (Marleny, 1983
dalam Susanti, 1996:30)
Suatu
penulisan tentang pola pengambilan keputusan yang sudah pernah dilakukan oleh
PudjiWati Sajogjo (Sajogjo, 1993 dalam Susanti ,1996:29 ) di pedesaan jawa
Barat mengemukakan 5 variasi tentang siapa yang mengambil keputusan dalam
keluarga, yaitu :
1. Pengambilan keputusan hanya oleh
istri
2. Pengambilan keputusan hanya oleh
suami
3. Pengambilan keputusan oleh suami dan
istri bersama, dimana istri lebih dominan
4. Pengambilan keputusan oleh suami dan
istri bersama, dimana suami lebih dominan
5. Pengambilan keputusan oleh suami dan
istri bersama, setara
Pelaku (penolong) dalam proses
persalinan
Salah
satu faktor yang paling mempengaruhi apa yang akan terjadi selama proses
melahirkan adalah memilih penolong dalam membantu proses melahirkan (Gaskin,
2003)
Persalinan
yang aman memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai ketrampilan dan
alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih (Syafrudin, 2009).
Pelayanan pertolongan persalinan adalah suatu bentuk pelayanan terhadap
persalinan ibu melahirkan yang dilakukan oleh penolong persalinan baik oleh
tenakes seperti dokter dan bidan atau non tenakes seperti dukun.
Jenis-jenis penolong persalinan adalah :
1.
Dukun
Pengertian
dukun biasanya seorang wanita sudah berumur ± 40 tahun ke atas, pekerjaan ini
turun temurun dalam keluarga atau karena ia merasa mendapat panggilan tugas ini
(Wiknjosastro, 2007). Menurut Syafrudin (2009), jenis dukun terbagi menjadi
dua, yaitu :
a.
Dukun terlatih : Dukun yang telah mendapatkan pelatihan oleh tenaga kesehatan
dan telah dinyatakan lulus.
b.
Dukun tidak terlatih : Dukun yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan
atau dukun yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.
Penolong persalinan
oleh dukun mengenai pengetahuan tentang fisiologis dan patologis dalam
kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas oleh karena atau apabila
timbul komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari
akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan kurang
profesional. Berbagai kasus sering menimpa seorang ibu atau bayi sampai pada kematian
ibu dan anak (Wiknjosastro, 2005). Seperti diketahui, dukun bayi adalah
merupakan sosok yang sangat dipercayai di kalangan masyarakat. Mereka
memberikan pelayanan khususnya bagi ibu hamil sampai dengan nifas secara sabar.
Apabila pelayanan selesai mereka lakukan, sangat diakui oleh masyarakat bahwa mereka
memiliki tarif pelayanan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan bidan.
Umumnya masyarakat merasa nyaman dan tenang bila persalinannya ditolong oleh
dukun atau lebih dikenal dengan bidan kampung, akan tetapi ilmu kebidanan yang
dimiliki dukun tersebut sangat terbatas karena didapatkan secara turun temurun
(tidak berkembang) (Meilani dkk, 2009).
Dalam
usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan kesehatan anak maka tenaga kesehatan
seperti bidan mengajak dukun untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat
meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan, selain itu dapat juga
mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan, selain itu dapat
juga mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan dan segera
minta pertolongan pada bidan. Dukun yang ada harus ditingkatkan kemampuannya,
tetapi kita tidak dapat bekerjasama dengan dukun dalam mengurangi angka
kematian dan angka kesakitan (Wiknjosastro, 2005).
Perlakuan yang
diberikan dukun beranak kepada pasien dapat berupa pemberian terapi pijat atau
pemberian obat-obatan tradisional kepada sang ibu dan bayinya, baik untuk
tujuan pencegahan maupun pengobatan. Bentuk-bentuk perlakuan tersebut
antara lain:
Perlakuan
selama kehamilan
a.
Terapi
pijat pada ibu hamil
Terapi
pijat ini dilakukan oleh si dukun pada saat kehamilan memasuki umur 5
bulan. Pemijatan ini dilakukan secara
rutin dua minggu sekali atau satu bulan sekali dimulai kandungan berumur 5
bulan sampai tiba waktu akan melahirkan. Pemijatan dilakukan pada saat beruur 5
bulan karena janin yang berada di perut ibu dipercaya sudah mulai dapat bergerak,
sehingga perlu dilakukan pemijatan. Pemijatan ini dilakukan untuk mengatur
posisi sang bayi tidak sungsang pada saat akan dilahirkan (sesuai dengan
posisinya).
Perlakuan
selama kelahiran
Pada
saat ibu akan melahirkan bila sang bayi tidak kunjung keluar atau tidak
menunjukkan reaksi. Maka sang ibu akan disuruh untuk jalan-jalan, karena
menurut sang dukun bila seorang ibu memang sudah waktunya melahirkan maka sang
bayi akan keluar dengan sendirinya. Namun bila dengan cara itu bayi tidak
kunjung keluar maka sang dukun akan memberikan ramuan tradisional berupa temu
ireng yang di parut dan diperas. dan kuning telur, tapi jangan diberikan saat
bayi belum waktunya untuk dilahirkan. Atau diberi sprit pada saat pembukaan 5
atau bila sang ibu mau juga diberikan kuning telur. Temu ireng nya di parut dan
diperas. Penelitian Iskandar dkk (1996)
menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti
"ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar
persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus
untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu
duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam
yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Terapi yang diberikan kepada ibu hamil
pascamelahirkan
Terapi
yang diberikan kepada ibu hamil pascamelahirkan ini dapat berupa pembersihan sisa-sisa darah di rahim, pencegahan
kehamilan kembali pada masa-masa awal setelah melahirkan (kehamilan jarak
dekat), dan memperlancar air susu ibu (ASI).
1.
Pembersihan
sisa-sisa darah di rahim ibu sesaat setelah melahirkan
Setelah
melahirkan, di dalam rahim ibu masih terdapat sisa-sisa darah yang biasanya
disebut darah kotor. Hal ini tentunya berbahaya karena dapat menimbulkan
penyakit pada sang ibu. Untuk mempercepat pembersihan rahim dapat digunakan
ramuan tanaman obat keluarga (TOGA) yaitu Lengkuas (Lenguas galanga atau
Alpinia galanga)
Dengan
cara lengkuas dimasak dengan cuka encer, dan dijadikan minuman untuk si ibu. Selain
dimasak, penggunaan lengkuas untuk mempercepat pembersihan rahim bagi wanita
yang baru melahirkan adalah dengan mencampurkannya dengan abu hasil pembakaran.
Cara pembuatannya adalah lengkuas dan abu hasil pembakaran dicampur dengan air
hangat lalu dibungkus dengan kain dan ditempelkan pada liang rahimnya selama
kira-kira 15 menit. Setelah itu, perut bagian bawah diurut (ditekan) perlahan
sehingga darah kotor pun keluar melalui vagina. Perlakuan ini juga dapat
mempercepat penutupan lubang vagina sehingga ukurannya bisa kembali seperti
semula. Selain itu, campuran abu dan lengkuas juga dibalurkan ke seluruh tubuh
ibu. Hal ini dipercaya untuk menghilangkan nyeri setelah melahirkan.
2.
Memperlancar
air susu ibu (ASI)
Untuk
memperlancar keluarnya air susu ibu, sang dukun juga memberikan ramuan berupa kunir, daun luntas, asam jawa, sedikit
garam dan gula merah dicuci dulu kemudian dideplok
atau diremas kemudian direbus sampai mendidih kemudian disaring. Ramuan ini
diminum pada saat dingin karena apabila diminum masih hangat akan menyebabkan
lidah si bayi menjadi putih. Sebelum melahirkan payudara dipijat ke arah puting
dan putingnya juga dibersihkan.
b.
Perawatan
yang diberikan pada bayi
Perawatan ini berupa pemotongan ari-ari,
pemijatan, serta memandikan bayi.
Pada jaman dahulu, pemotongan ari-ari
dilakukan dengan menggunakan sembilu atau bambu tipis yang sisinya tajam.
Namun, dewasa ini ternyata dukun beranak pun telah menggunakan gunting untuk
memotong ari-ari bayi.
Setelah lahir ari2 bayi di potong, sang dukun tetap
merawat sebagai bayi yaitu dalam bentuk: memandikan , hal ini dilakukan selama
7-40 hari setelah dilahirkan atau sesuai dengan permintaan sang ibu bayi.
2. Bidan
Definisi
bidan menurut Keputusan Menteri Kesehatan 2007 adalah seseorang yang telah
mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari
pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan
atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.
Bidan
adalah seorang tenaga kesehatan yang mempunyai tugas penting dalam bimbingan
dan penyuluhan kepada ibu hamil, persalinan nifas dan menolong persalinan
dengan tanggung jawabnya sendiri, serta memberikan asuhan kepada bayi baru
lahir (prenatal care) (Wiknjosastro, 2005). Asuhan ini termasuk tindakan
pencegahan deteksi kondisi abnormal ibu dan anak, usaha mendapatkan bantuan
medic dan melaksanakan tindakan kedaruratan dimana tidak ada tenaga bantuan medic.
Dia mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling, tidak hanya untuk
klien tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Pada
saat ini, ada dua jenis bidan, yaitu mereka yang mendapat pendidikan khusus
selama tiga tahun dan perawat yang kemudian dididik selama satu tahun mengenai
kebidanan dan disebut sebagai perawat bidan (Syafrudin, 2009). Salah satu tempat
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak adalah BPS (Bidan Praktek
Swasta) Menurut Meilani dkk (2009) BPS adalah satu wahana pelaksanaan praktik
seorang bidan di masyarakat. Praktik pelayanan bidan perorangan (swasta),
merupakan penyediaan pelayanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar
dalam memberikan pelayanan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan
anak. Setelah bidan melaksanakan pelayanan di lapangan, untuk menjaga kualitas
dan keamanan dari layanan bidan, dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan
kewenangannya. Penyebaran dan pendistribusian badan yang melaksanakan praktik
perlu pengaturan agar dapat pemerataan akses pelayanan yang sedekat mungkin dengan
masyarakat yang membutuhkannya. Tarif dari pelayanan bidan praktik akan lebih
baik apabila ada pengaturan yang jelas dan transparans, sehingga masyarakat
tidak ragu untuk datang ke pelayanan Bidan Praktik Perorangan (swasta).
Layanan
kebidanan dimaksudkan untuk sebisa mungkin mengurangi intervensi medis. Bidan
memberikan pelayanan yang dibutuhkan wanita hamil yang sehat sebelum
melahirkan. Cara kerja mereka yang ideal adalah bekerjasama dengan setiap
wanita dan keluarganya untuk mengidentifikasi kebutuhan fisik, social dan
emosional yang unik dari wanita yang melahirkan. Layanan kebidanan terkait
dengan usaha untuk meminimalisir episiotomy, penggunaan forcep, epidural dan operasi
sesar (Gaskin, 2003)
3. Dokter Spesialis Kandungan
Dokter
spesialis kandungan adalah dokter yang mengambil spesialis kandungan.
Pendidikan yang mereka jalani difokuskan untuk mendeteksi dan menangani
penyakit yang terkait dengan kehamilan, terkadang yang terkait dengan proses melahirkan.
Seperti halnya dokter ahli bedah (Gaskin, 2003)Dokter spesialis kandungan dilatih
untuk mendeteksi patologi. Ketika mereka mendeteksinya, seperti mereka yang
sudah pelajari, mereka akan memfokuskan tugasnya untuk melakukan intervensi
medis. Dokter spesialis kandungan menangani wanita hamil yang sehat, demikian
juga wanita hamil yang sakit dan beresiko tinggi. Ketika mereka menangani wanita
hamil yang sehat, mereka sering melakukan intervensi medis yang seharusnya hanya
dilakukan pada wanita hamil yang sakit atau dalam keadaan kritis. Disebagian
besar negara dunia, tugas dokter kandungan adalah untuk menangani wanita hamil
yang sakit atau dalam keadaan kritis (Gaskin, 2003).
Baik
dokter spesialis kandungan maupun bidan bekerja lebih higienis dengan ruang
lingkup hampir mencakup seluruh golongan masyarakat. Umumnya, mereka hanya
dapat mengulangi kasus-kasus fisiologis saja, walaupun dokter spesialis secara
teoritis telah dipersiapkan untuk menghadapi kasus patologis. Jika mereka
sanggup, harus segera merujuk selama pasien masih dalam keadaan cukup baik
(Syafrudin, 2009).
Walaupun
mereka dapat menanggulangi semua kasus, tetapi hanya sebagian kecil saja
masyarakat yang dapat menikmatinya. Hal ini disebabkan karena biaya yang
terlalu mahal, jumlah yang terlalu sedikit dan penyebaran yang tidak merata.
Dilihat dari segi pelayanan, tenaga ahli ini sangat terbatas kegunaannya.
Namun, sebetulnya mereka dapat memperluas fungsinya dengan bertindak sebagai
konseptor program obstetri yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh dokter
spesialis atau bidan (Syafrudin, 2009)
4. Kerabat ibu hamil
Pada umumnya keluarga terdekat mendampingi dukun
bayi atau bidan pada saat persalinan.
Tempat Berlangsungnya Persalinan
Tidak semua orang melakukan persalinan
di rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan lain. Di beberapa daerah, masyarakat
lebih menjunjung tinggi nilai – nilai adat mereka, seperti masyarakat dari
Lombok Tengah tepatnya di desa Adat Sade, tempat untuk melakukan persalinannya
ada di dapur
Pemberian
Nama Bagi Bayi
Di sebagian besar wilayah Indonesia,
pemberian nama bagi bayi yang baru lahir adalah hal yang sangat sacral dan
harus dilakukan sesuai adat yang berlaku di masing – masing daerah. Di Lombok
misalnya, begitu bayi dilahirkan kita tidak bias begitu saja menamai sang bayi.
Pemberian nama harus dilakukan melalui prosesi adat yang bagi masyarakat
disebut Medaq api. Upacara ini
dilakukan setelah tali pusar bayi terputus secara alami, yaitu pada saat bayi
memasuki usia 5 – 9 hari. Biasanya orang tua akan memberikan beberapa pilihan
nama bagi si bayi dan menuliskannya di
selembar kertas untuk masing – masing nama, kemudian meletakkan kertas berisi
nama tersebut di sisi tempat tidur si bayi. Jika si bayi memegang salah satu
kertas berisi pilihan nama tersebut, maka biasanya masyarakat akan berasumsi
nama itulah yang disukai oleh si bayi.
2.1.3 Aspek Budaya
Terkait Nifas dalam Masyarakat
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa
nifas berlangsung selama 6 - 8 minggu. Periode nifas merupakan masa kritis bagi
ibu, diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah
persalinan, yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi dalam 24 jam
pertama setelah persalinan. Selain itu, masa nifas ini juga merupakan masa
kritis bagi bayi , sebab dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu
setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari
setelah lahir (Saifuddin et al, 2002). Untuk itu perawatan selama masa nifas
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Perawatan masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari
pengaturan dalam mobilisasi, anjuran untuk kebersihan diri , pengaturan diet,
pengaturan miksi dan defekasi, perawatan payudara (mamma) yang ditujukan
terutama untuk kelancaran pemberian air susu ibu guna pemenuhan nutrisi bayi,
dan lain-lain (Rustam Mochtar, 1998 dan Saifuddin et al, 2002).
Selain perawatan nifas dengan memanfaatkan sistem pelayanan
biomedical, ada juga ditemukan sejumlah pengetahuan dan perilaku budaya dalam
perawatan masa nifas. Para ahli antropologi melihat bahwa pembentukan janin,
kelahiran, dan masa pasca kelahiran pada umumnya dianggap oleh berbagai
masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai peristiwa-peristiwa yang wajar
dalam kehidupan manusia. Namun respon masyarakat terhadap berbagai peristiwa
kehidupan ini bersifat budaya, yang tidak selalu sama pada berbagai kelompok
masyarakat (Swasono, 1998).
Pada masyarakat Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah,
perawatan postpartum dilakukan dengan memberikan minuman yang salah satu
bahannya dari jeruk nipis, pemberian makanan berupa rujak dalam beberapa jam
setelah persalinan selesai, penyembuhan luka jalan lahir dengan menggunakan
pasir panas, perawatan dengan pengurutan, penguapan badan, konsumsi jamu-jamuan
dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya
(Swasono, 1998).
Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk
keselamatan ibu dan bayinya dilakukan upacara adat dengan berbagai syarat dan
aturan yang harus dipenuhi selama proses maupun sebelum proses upacara tersebut
terlaksana. Begitu juga pada masyarakat Aceh yang memiliki aturan berupa
pantangan meninggalkan rumah selama 44 hari bagi wanita yang baru melahirkan.
Anjuran untuk berbaring selama masa nifas, perawatan nifas dengan pengurutan ,
penghangatan badan, konsumsi minuman berupa jamu-jamuan dan pantangan makan -
makanan tertentu (Swasono, 1998).
Berbeda dengan etnis Tionghoa, yang merupakan salah
satu etnis pendatang di Indonesia yang jumlahnya cukup besar dibandingkan
masyarakat pendatang lainnya, yang memiliki aturan bagi perempuan selama masa
nifas meliputi pantangan bagi wanita nifas untuk keluar rumah selama satu
bulan, tidak boleh mandi dan keramas selama satu bulan dengan alasan kondisi
ibu yang dianggap dingin setelah melahirkan sehingga bila terpapar sesuatu yang
dingin lagi akan menyebabkan masuk angin. Pantangan makan makanan yang bersifat
dingin, kekhususan dalam mengolah makanan, juga penyajian makanan yang juga
dilakukan secara khusus (Mahriani, 2008).
Berdasarkan
fakta yang terjadi pada masyarakat di atas, dapatlah dikatakan bahwa memang benar
ada beberapa nilai kepercayaaan masyarakat yang berhubungan dengan perawatan
postpartum. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
multikultural, maka fenomena tersebut sangat wajar terjadi. Dan pengetahuan
tentang aspek budaya merupakan hal penting diketahui oleh pelayan kesehatan
untuk memudahkan dalam melakukan pendekatan dan pelayanan kesehatan. Sebab,
tidak semua perawatan yang dilakukan dengan berpedoman pada warisan leluhur
tersebut bisa diterima sepenuhnya, bisa saja perawatan-perawatan yang dilakukan
tersebut memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan
bayinya. Hal ini tentu saja memerlukan perhatian khusus untuk mengatasinya
(Swasono, 1998).
Daftar
Pustaka
Foster, George M dan Barbara G. Anderson 1986 Antropologi Kesehatan, diterjemahkan oleh Meutia F. Swasono dan
Prijanti Pakan. Jakarta: UI Press
Wibowo, Adik 1993 Kesehatan
Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang dihadapi di
lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan",
Pusat Kaajian Wanita FISIP UI, di Jakarta\
Alisyahbana A. Konsep
kemitraan antara dukun bayi dan bidan di desa. Jakarta: MNH Mini
Mintarjo BS. 1997. Manusia
dan nilai budaya. Jakarta: Universitas Trisakti;.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar